Nadzar dalam Sorotan
Telah menjadi ketentuan pokok dalam permasalahan tauhid, segala bentuk peribadatan mutlak ditujukan kepada Allah semata, tidak kepada selain-Nya. Dengan kata lain, tatkala motivasi utama dilakukannya peribadatan tersebut adalah selain Allah, seperti ingin memperoleh pujian dan sanjungan, maka pelakunya telah terjerumus ke dalam jurang kesyirikan. Wal ‘iyadzu biillah.
Nadzar adalah Ibadah
Pembaca budiman, salah satu bentuk ibadah yang wajib ditujukan kepada Allah semata adalah nadzar. Nadzar merupakan tindakan seorang yang mewajibkan dirinya untuk melakukan suatu ibadah kepada Allah, yang pada dasarnya hal tersebut tidak wajib[1].
Di antara dalil yang menunjukkan nadzar merupakan ibadah adalah firman Allah ta’alaa dalam surat Al Insaan ayat 7, yang artinya,
“Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.”
Dalam ayat ini, Allah memuji para hamba-Nya yang menunaikan nadzar dan menjadikan hal itu sebagai salah satu sebab yang dapat memasukkan mereka ke dalam surga. Sehingga dapat disimpulkan bahwa nadzar adalah ibadah, karena suatu perbuatan yang dapat menyebabkan pelakunya masuk ke dalam surga adalah ibadah.
Selain itu Allah juga memerintahkan para hamba-Nya untuk menyempurnakan nadzar dalam surat Al Hajj ayat 29. Perintah untuk menyempurnakan nadzar menunjukkan bahwa nadzar adalah ibadah[2].
Berdasarkan ketentuan yang telah disebutkan di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa seorang yang melakukan nadzar dengan niat atau motivasi selain Allah, maka dirinya telah melakukan kesyirikan karena telah memalingkan ibadah kepada selain Allah.
Penyimpangan dalam Masalah Nadzar
Terdapat beberapa penyimpangan seputar nadzar yang sering dilakukan sebagian kaum muslimin, diantara penyimpangan tersebut berada dalam tataran maksiat, dan sebagian bahkan masuk ke dalam kesyirikan dan kekufuran. Wal ‘iyadzu billahi. Berikut kami paparkan di antara penyimpangan tersebut,
a) Bernadzar untuk bermaksiat kepada Allah. Hal ini semisal perkataan seorang, “Saya bernadzar demi Allah untuk mencuri.” Nadzar jenis ini haram untuk ditunaikan, meskipun niat nadzar tersebut ditujukan kepada Allah, karena tidak mungkin beribadah kepada Allah dengan kemaksiatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا وفاء لنذر في معصية
“Tidak boleh menunaikan nadzar dalam rangka bermaksiat kepada Allah.”[3]. Wajib bagi pelaku nadzar jenis ini untuk membatalkan nadzarnya dan membayar kaffarah sumpah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من نذر نذرا في معصية, فكفارته كفارة يمين
“Barangsiapa yang bernadzar dalam rangka bermaksiat kepada Allah, maka (hendaknya dirinya membayar) kaffarah sumpah.”[4].
b) Bernadzar kepada selain Allah, seperti tindakan seorang yang pergi ke kuburan orang shalih lantas berujar, “Aku bernadzar demi kyai fulan” atau ucapan, “Aku bernadzar demi kuburan ini”, dengan maksud untuk mendekatkan diri kepada mereka. Tidak diragukan lagi hal ini merupakan kesyirikan yang mengeluarkan pelakunya dari Islam, karena telah memalingkan ibadah kepada selain Allah.
c) Bentuk penyimpangan dalam masalah nadzar yang juga sering dilakukan sebagian orang dan merupakan turunan dari bentuk penyimpangan yang kedua adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Qasim Al Hanafi dalam Syarh Duraril Bihar, “Bentuk nadzar yang sering dilakukan sebagian besar kaum awwam (adalah nadzar yang dilakukan) di sisi kuburan-kuburan, seperti seorang yang mengharapkan kembalinya orang yang dicintai yang telah lama menghilang, seorang yang sedang sakit dan membutuhkan kesembuhan atau ia memiliki suatu kebutuhan, kemudian mendatangi kuburan orang-orang shalih, meletakkan kain tabir penutup kuburan di kepalanya lalu memohon, “Wahai tuan fulan, apabila Allah mengembalikan kerabatku yang telah lama pergi, atau menyembuhkan penyakitku, atau menunaikan hajatku. Maka (aku berkewajiban untuk memberi) kepadamu emas, atau perak, atau makanan, air atau minyak zaitun. Nadzar jenis ini batil berdasarkan kesepakatan ulama dengan beberapa alasan berikut, pertama, hal tersebut merupakan bentuk bernadzar kepada makhluk, sedangkan nadzar kepada makhluk hukumnya haram karena nadzar adalah ibadah dan ibadah tidak boleh ditujukan kepada makhluk. Kedua, media yang menjadi objek sasaran nadzar adalah seonggok mayit, padahal mayit tidaklah mampu untuk berbuat sesuatu pun (bagi dirinya terlebih bagi orang lain). Ketiga, pelaku nadzar berkeyakinan bahwa mayit tersebut mampu berbuat sesuatu, (baik memberikan manfaat atau menghilangkan mara bahaya dari dirinya) di samping Allah, padahal keyakinan semacam ini merupakan keyakinan kekufuran.”[5].
Nadzar jenis ini mengeluarkan pelakunya dari Islam, karena menjadikan mayit tersebut sebagai perantara untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah ta’alaa. Allah mengkategorikan orang yang berkeyakinan seperti ini sebagai musyrik dalam firman-Nya, yang artinya,
“Dan mereka menyembah (sesembahan) selain Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah”. (Yunus: 18).
Allah tabaraka wa ta’alaa juga berfirman, yang artinya,
“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya” (Az Zumaar: 3). Dalam ayat ini, secara gamblang Allah memberitakan bahwa di antara keyakinan syirik adalah keyakinan yang beredar luas di tengah-tengah kaum muslimin bahwa mayit orang shalih dapat menjadi perantara yang dapat mendekatkan seorang kepada Allah ta’alaa.
d) Sebagian pelaku nadzar walaupun bernadzar kepada Allah, mereka meyakini bahwa kebutuhan mereka tidak akan terpenuhi melainkan dengan bernadzar terlebih dahulu. Keyakinan semacam ini salah dan salah satu bentuk berburuk sangka kepada Allah, Dzat yang Mahapemurah dan Mahapemberi kepada para hamba-Nya. Para ulama’ berkata, “Sesungguhnya barangsiapa yang berkeyakinan bahwa kebutuhannya tidak akan terpenuhi melainkan dengan bernadzar, maka keyakinannya tersebut hukumnya haram. Karena dirinya berkeyakinan bahwa Allah tidak akan memberi (karunia kepada hamba-Nya) kecuali dengan adanya imbalan. Hal ini merupakan salah satu bentuk berburuk sangka kepada Allah dan keyakinan yang salah terhadap-Nya, justru sebaliknya Allah adalah Dzat yang sangat royal dalam memberikan nikmat kepada para hamba-Nya.”[6].
Jenis Nadzar
Mungkin sebagian orang bertanya, mengapa nadzar itu tergolong ibadah, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membencinya dan pernah bersabda,
إنه لا يأتي بخير
“Sesungguhnya nadzar tidaklah mendatangkan kebaikan.”[7].
Sebelum menjawab pertanyaan ini, maka kita perlu mengetahui jenis nadzar ditinjau dari sebabnya. Berdasarkan tinjauan ini, nadzar terbagi dua, yaitu:
a) Nadzar muthlaq, yaitu seorang bernadzar untuk melakukan ibadah kepada Allah tanpa mengharapkan ganti dari Allah, seperti ucapan seorang, “Saya bernadzar untuk puasa 3 hari berturut-turut karena Allah”. Ulama’ mengatakan nadzar jenis ini tidaklah termasuk dalam sabda Nabi di atas, karena dia bernadzar tanpa mengharapkan imbalan duniawi.
b) Nadzar muqayyad, seorang bernadzar untuk beribadah kepada Allah sembari mengharapkan gantinya, seperti seorang yang mengatakan, “Apabila Allah menyembuhkanku, maka aku akan berpuasa seminggu berturut-turut.” Atau seorang yang berucap, “Wahai Allah, apabila Engkau meluluskanku dalam ujian nasional, maka aku akan bersedekah sekian ratus ribu.” Orang yang melaksanakan nadzar jenis ini mempersyaratkan sesuatu, yang apabila dipenuhi, barulah dirinya melaksanakan ibadah tersebut. Nadzar jenis inilah yang dikatakan oleh para ulama’ termasuk dalam hadits di atas dan dicela oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنْ الْبَخِيلِ
“Sesungguhnya nadzar hanyalah berfungsi agar orang yang pelit beramal mau untuk beramal.”[8].
Jangan Terbiasa Bernadzar!
Mungkin yang patut direnungkan oleh mereka yang sering bernadzar adalah hendaknya nadzar jangan dijadikan kebiasaan, walaupun berbentuk mutlak dan tidak dimaksudkan untuk mengharapkan ganti dari Allah ta’alaa, karena terkadang pelaku nadzar tidak mampu menunaikannya dengan sempurna dan dalam pelaksanaannya mengandung banyak kesalahan dan kekurangan, sehingga dirinya terjatuh dalam dosa[9].
Adapun bernadzar kepada Allah dengan mengharapkan ganti, seyogyanya ditinggalkan, karena hal tersebut ciri orang yang pelit dalam beramal. Pelakunya telah disifati oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang pelit, karena seorang yang pelit tidaklah mau untuk beramal hingga syarat yang dia ajukan terpenuhi, sehingga tidak ubahnya seperti seorang pedagang yang mengharapkan imbalan[10].
Patut diingat meskipun demikian perbuatan menunaikan nadzar merupakan sesuatu yang dipuji oleh Allah sebagaimana keterangan yang telah lalu.
Kita memohon kepada Allah agar menjadikan diri kita ikhlas dan benar dalam beramal, sesungguhnya Dia Mahamengabulkan do’a. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, para sahabat, dan mereka yang senantiasa tegak di atas tauhid dan sunnah beliau. Aamin.
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel www.muslim.or.id
[1] Taudlihul Ahkam 7/132 [2] Al Qaulul Mufid Syarh Kitabit Tauhid 1/155, Darul Aqidah [3] HR. Muslim nomor 1641, dinukil dari Taudlihul Ahkam 7/135 [4] HR. Abu Dawud nomor 3322 [5] Dinukil dari Fathul Majiid hal. 153, Darul Hadits, dengan beberapa penyesuaian [6] At Tamhid lisyarhi Kitabit Tauhid hal. 160, Darut Tauhid
[7] HR. Muslim nomor 3095
[8] HR. Muslim nomor 3095
[9] Taudlihul Ahkam 7/134 [10] At Tamhid lisyarhi Kitabit Tauhid hal.159 dengan beberapa penyesuaian.🔍 Masjid Nabi Daniel, Penyakit Was Was Dalam Aqidah, Pesantren Salaf Di Jonggol, Hari Pembalasan Amal Perbuatan Manusia
Artikel asli: https://muslim.or.id/4229-nadzar-dalam-sorotan.html